Salam
taklim,
Udakara
setahun kepungkur aku diuman-umani ambek netter saka Jepang: "Kenapa anda-anda
lebih suka nonton momotaro-matsuri dibanding
berkunjung ke Mesjid Kobe? Mengapa saudara-saudara lebih hafal huruf kanji
dibanding ayat Qur'an?
Apakah
demikian itu sudah cukup buat perjalanan spiritual kita? Tahukah saudara-saudara
apa yang tertulis di Mesjid Kobe itu? Siapa penulisnya? Siapa yang telah
menyumbang untuk membangunnya?"... dst-dst... (ning ya mesthi wae ora pleg
ngono, wong posting setahun kepungkur kok.)
Bakune
penjenengane netter mau kepengin crita nek dhekne wis rumangsa nglakoni
perjalanan spiritual nganggo sarana mlebu lan sembahyang nang Mesjid Kobe (sing
paling gedhe ngguk Jepang beke). Lha ya dhasare Soeloyo, nek ora mbales posting
ngono-ngono iku ora lega. Aku mbales nganggo crita:
"Perjalanan spiritual saya tidak punya
terminal. Tidak punya tujuan fisik, karena sekarang saya sedang menempuh
perjalanan di dunia mikroskopis. Saya sedang terkagum-kagum dan terpana dengan
satu contoh proses penciptaan makhluk hidup. Proses terbentuknya sebutir biji
anggur.
Biji
anggur berasal dari 1 sel telur yang waktu masak, ratusan (bahkan ribuan)
tepung sari tumbuh menjulur menuju ke padanya. Satu berhasil bertemu, yang
lainnya berhenti bersaing, meluruh menyumbangkan kandungan jasadnya kepada si
calon biji. Saya membayangkan yang terjadi pada manusia. Bukankah ini suatu
perjalanan spiritual yang tak berujung? Karena telah membawa arah saya menuju
asal-muasal saya.
Terjadinya
saya bukankah suatu takdir? Coba seandainya dulu yang bergabung dengan sel
telur separuh jasad saya bukan sel sperma yang membentuk separuh jasad saya,
apakah akan ada saya? Maka, dalam perjalanan spiritual saya, lebih banyak
membaca alam atau jejak-jejak keberadaan pencipta saya.
Di
daerah Okayama Timur ada tempat bernama SHOUJA (tempat kumpulan peribadahan
kepada Kami-sama). Di situ ada bukit kecil dengan kuil di puncaknya. Kuil itu
berundakan batu hitam yang berat. Saya berfikir, "betapa orang jepang
jaman dulu berusaha untuk mendekat kepada sesembahannya". Hal itu
membawaku ingat keberadaan candi Borobudur, Prambanan, dan Dieng. betapa usaha
para tetua orang jawa dulu dalam rangka mendekat kepada sesembahannya. Dan
masih terang dalam ingatan saya kerika berkemah di tepi telaga Sarangan. Di
salah satu sisi bukitnya ada mesjid kecil dengan air pancuran jernih untuk
bersuci.
Di
kala pagi, terdengar suara azan subuh yang bernada mirip tembang dhandhang-gula.
Jemaah bersusah payah mencapainya karena kabut tebal selalu menyelimuti jalan
menuju ke mesjid mungil (dulu bercat hijau). Hal ini membawa kenangan lebih
dalam kepada jema-at Gereja Maria Asumpta, Klaten, yang menggubah pepujiannya
dalam bentuk Gendhing Karawitan... Yang khusus ditujukan untuk para jema-at
yang kurang faham dengan bahasa Indonesia lagu-lagu bercorak eropa. Sama hanya dengan
acara Nglaras Madya dari RSPD Kab. Klaten tempo dulu, menggubah syair-syair
samrah dan hadrah dalam tembang tembang Mocopat. Menjadi acara siraman rohani
pendengar radio di pedesaan setiap malam Jum'at. (sekarang tidak ada lagi,
sayang!).
Itulah
contoh perjalanan spititual saya, kalau boleh diartikan perjalanan spiritual.
Yang jelas saya tidak akan menyesal, seandainya jalan yang saya tempuh adalah
keliru. Toh saya sudah mencoba dan sebagian menjalaninya dalam usaha mendekatkan
diri kepada Pemilik semua jiwa atau spirit."
Weleh....
gayane. koyok yak-yako ae.. hehehee..
Salam,
mBah
Soelojo [Sep 7, 2000]